Wednesday, July 2, 2014

Mari Wujudkan Kelas Berkualitas

Penulis : Iis Rodiah, SPd.I., M.M.Pd*

Memang tidak ada yang tahu pasti bekal apa yang paling dibutuhkan anak-anak dalam menjalani kehidupannya di masa depan, masa yang menurut Kahlil Gibran tidak akan dapat kau kunjungi walaupun dalam mimpi. Namun demikian dari situasi kondisi saat ini tergambar situasi masa depan yang semakin kompleks dan semakin rumit.

Prof. Dr. Fasli Jalal, Ph.D dalam salah satu Seminar Nasional di Jakarta, 12 Desember 2009 mengungkapkan bahwa Anak usia dini Indonesia di masa depan membutuhkan keterampilan atau keahlian dalam beberapa hal berikut ini:

1)        Kemampuan dasar (basic skill)

2)        Keterampilan berkomunikasi (communication skills)

3)        Keterampilan berfikir kritis dan kreatif (Critical and creative thinking skills)

4)        Kemampuan digital literacy (keaksaraan digital)

5)        Keterampilan reasoning (reasoning skills)

6)        Keterampilan interpersonal (interpersonal skills)

7)        Keaksaraan multilingual (multilingual literacy)

8)        Kemampuan menyelesaikan masalah (Problem solving skills)

9)        Kemampuan teknologi (Technology skills)

Kemampuan-kemampuan tersebut di atas hanya dapat dikuasai oleh anak apabila pendidik memiliki kompetensi yang memadai, dan dukungan orang tua yang baik. Gap antara kompetensi pendidik PAUD saat ini serta seberapa besar dukungan yang diberikan untuk terwujudnya layanan PAUD bermutu berbanding dengan keterampilan-keterampilan yang diperlukan oleh anak di masa depan, itulah gambaran masa depan bangsa Indonesia, child is our future.

Sebagaimana langkah yang ke seratus harus dimulai dari langkah pertama, seperti juga naik tangga ke sepuluh harus dimulai dari tangga pertama, demikian pula kehidupan manusia. Keterampilan-keterampilan hidup tidak dapat terinternalisasi serta merta pada usia sekolah, pada saat mereka mulai berfikir operasional, atau pada saat remaja. Semuanya harus dimulai dari step pertama, sebagaimana keterampilan berbicara dimulai dari kata pertama. Dengan demikian semua bekal kebutuhan surfive di masa depan harus dimulai sejak dini.

Tentu merupakan penyesalan yang amat dalam apabila kita mengetahui bahwa betapa bekal yang kita berikan pada anak-anak kita saat ini tidak banyak berguna bahkan menyebabkan hambatan atau menyebabkan kelemaahan bagi kehidupan mereka di masa depan. Terlebih lagi kita tidak dapat memutar waktu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan kita dalam mendidik anak-anak, karena kehidupan tidak akan pernah berhenti ataupun kembali, mereka terus tumbuh menuju masa depan. Maka suatu keharusan bagi kita sebagai guru, dan orang tua untuk berhati-hati dan berupaya mengetahui lebih banyak cara paling baik mengantarkan mereka menuju masa depan yang cerah. Amat relevan pesan Ali Rodiallohu ‘Anhu bahwa “anak-anak akan hidup di zamannya, maka ajarilah mereka sesuai dengan zamannya”. Pernyataan futuristic ini mengajak kita untuk mendidik anak berbasis masa depan.

Digulirkannya program PAUD merupakan angin segar di satu sisi namun menimbulkan kekhawatiran di sisi lain yang akan meruntuhkan hakikat dan tujuan penyelenggaraan PAUD itu sendiri, terlebih tanpa perangkat pendukung program PAUD yang layak, sebagaimana diakui oleh berbagai fihak sampai saat ini lembaga pendidikan anak usia dini yang ada di Indonesia sebagian besar belum menunjukkan kualitas yang diharapkan.

Terlepas dari berbagai factor yang mempengaruhinya, kerancuan berfikir sebagian besar masyarakat dan sebagian pelaksana pendidikan anak usia dini, bahwa pembelajaran di PAUD erat kaitannya dengan pembelajaran yang bersifat akademis. Hal ini menimbulkan malfungsi pendidikan anak usia dini di banyak tempat penyelenggaraan PAUD. Factor rendahnya mutu sumber daya manusia yakni pendidik PAUD, ditambah lagi dengan tuntutan masyarakat yang menghendaki lembaga PAUD sebagai lembaga pemberi asupan kemampuan akademis anak sejak dini, serta rendahnya kontrol mutu dan pengawasan dari dinas instansi terkait terhadap penyelenggaraan PAUD, menempatkan anak sebagai objek yang tidak lagi ‘merdeka’ untuk mendapatkan hak-hak dalam memperoleh pendidikan sejak dini yang berkualitas dalam arti yang sebenarnya.

Pengamatan terhadap sejumlah lembaga PAUD di Jawa Barat baik formal maupun non formal menggambarkan pembelajaran yang cenderung menyeret anak dari dunianya yakni dunia bermain ke suatu alam yang penuh dengan kompetensi bahkan kompetisi akademik. Belajar menjadi suatu ritual yang rutin dengan ciri-ciri yang hampir sama dengan pembelajaran di sekolah dasar, yakni berkutat dengan alat tulis dan instruksi guru. Bedanya di kelas pra sekolah dibumbui dengan nyanyian-nyanyian, ataupun cerita. Kegiatan bertemakan kreatifitas sering pula dijumpai, namun sayang sekali semuanya lebih bersifat teacher center.

Hal ini terindikasi dari beberapa hal antara lain:

  1. Pola pembelajaran PAUD cenderung bersifat akademik

  2. Pembelajaran lebih mengutamakan hasil daripada proses.

  3. Pola interaksi lebih banyak satu arah yakni guru-murid, penuh instruksi dan anak hanya menjalankan instruksi guru tanpa banyak mendapat kesempatan untuk melakukan sesuai dengan caranya sendiri.

  4. Guru tidak melibatkan peserta didik dalam membuat perencanaan pembelajaran atau tidak memahami standar tingkat pencapaian perkembangan anak.

  5. Jumlah jenis main yang disediakan sangat terbatas dan tidak memberi pluang kepada anak untuk memilih kegiatannya sendiri.

  6. Jumlah media pendidikan terbatas dan kurang memberi kesempatan kepada anak untuk mendapatkan informasi lebih banyak dalam upaya membangun pengetahuannya sendiri.

  7. Kurang memanfaatkan lingkungan sebagai sumber pembelajaran


Jika hal-hal tersebut terjadi maka dapat dipastikan bahwa anak usia dini yang mendapatkan pendidikan di lembaga PAUD bagaikan tercerabut dari akarnya, ditempatkan di suatu tempat asing yang membatasi pertumbuhan dan perkembangan kecerdasannya. Dan suatu saat mereka akan dikembalikan kepada lingkungan sosial masyarakat dimana mereka tinggal, dan akan kembali merasa asing dengan lingkungan ‘rumahnya’ sendiri. Hal ini dapat menimbulkan keterasingan yang berkepanjangan dalam kehidupannya sehingga sulit baginya untuk menemukan dirinya sendiri.

Sebagai ilustrasi konkrit, seorang anak sebelum dimasukkan ke suatu lembaga PAUD di kampungnya seringkali diajak oleh orang tuanya yang petani itu untuk ikut ke sawah. Di sawah ia sering bermain dengan lumpur, berlari-lari di pematang dengan riangnya, tertawa-tawa mengejar capung, menangkap belut, melihat berbagai tanaman yang ada di sawah, meraba berbagai tekstur daun, bermain dengan air sawah, dan seterusnya. Pemerintah desa dan tokoh masyarakat menganjurkan orang tuanya untuk memasukkan anaknya ke lembaga PAUD. Mulailah anak tersebut ditempatkan di tempat yang bersih, dibatasi empat dinding, tidak lagi bebas berlari-lari karena semua ada aturannya,  seringkali ia harus duduk manis untuk mengerjakan tugas dengan alat tulis dan kertas, bahkan di banyak tempat mengutamakan belajar membaca sejak dini dan inilah yang membanggakan orang tuanya. Saat guru menjelaskan tentang buah-buahan yang ia lihat hanyalah gambar buah-buahan, saat guru menerangkan tentang sayuran, yang ia lihat hanyalah gambar sayuran, ketika guru menjelaskan tentang alam dan tanaman atau binatang ia mendapatkan penjelasan dari gambar, dan jarang melihat benda yang asli sebagimana ia lihat sebelumnya. Bahkan sesuatu yang sangat disayangkan, mereka kehilangan sebagian dunianya yakni dunia bermain. Inilah yang dimaksud bahwa anak tercerabut dari akarnya, bagaikan burung memasuki sangkarnya yang indah, dan ‘kemerdekaan’ mendapatkan pendidikan dan pengajaran hanyalah semu belaka.

Ilustrasi lainnya seorang anak pedagang yang sebelum menjadi peserta didik di suatu lembaga PAUD, seringkali diajak orang tuanya ke pasar. Di pasar ia dapat mendengar dan melihat bagaimana interaksi tawar menawar antara pedagang (orang tuanya) dan pembeli. Melihat dan mungkin membantu bagaimana menimbang dan menakar, memegang dan melihat beragam bahkan ratusan benda yang ada di pasar, melihat bagaimana orang tuanya mengklasifikasikan barang dagangan, menghitung uang yang didapat, dan seterusnya. Setelah orang tuanya memasukkannya ke suatu lembaga PAUD, ia tidak lagi mendengar bagaimana interaksi sosial tawar menawar dan bagaimana meningkatkan bargaining position. Apabila lembaga PAUD memiliki alat permainan yang lengkap, ia dapat bermain peran sebagai pedagang, bermain menakar dan menimbang, mengklasifikasikan benda-benda berbentuk artificial. Namun kenyataannya sangat sedikit lembaga PAUD yang dapat menyajikan atau memfasilitasi anak didik untuk mendapatkan pembelajaran yang eksploratif dan kaya. Inilah yang dimaksud dengan pendidikan yang mencerabut anak dari tempatnya yang subur, ke tempat yang gersang dalam mendapatkan kebebasan memperoleh pendidikan dan pengajaran untuk tumbuh kembangnya secara maksimal.

Karena hakikat pendidikan anak usia dini yang sesungguhnya bukanlah diindikasikan dengan bentuk pembelajaran yang bersifat akademik, formal dan dibatasi dinding-dinding kelas, maka dapat dikatakan bahwa dunia bermain anak petani di sawah adalah pendidikan anak usia dini yang sebenarnya. Mengajarkan anak dekat dengan lingkungannya, menempatkan anak pada dunianya yang tidak asing. Melatih kecerdasan kinestetiknya dengan berlari-lari di pematang sawah, melatih kecerdasan naturalnya dengan memelihara dan menyayangi tanaman dan binatang peliharaan secara nyata, melatih kemampuan motoriknya dengan bermain lumpur atau menangkap capung, melatih kemampuan visualnya dengan mengenali alam sekitar secara konkrit dan tidak sekedar berupa gambar, dan masih banyak kecerdasan lain yang dapat digali dari bermain di sawah bersama orang tua.

Demikian pula seorang anak pedagang akan mendapatkan kekayaan informasi yang lebih baik di dunia nyata bersama orang tuanya sebagai pedagang. Melatih kemampuan bahasa dengan interaksi sosial yang terjadi di pasar, melatih kemampuan logika matematika dengan melakukan kegiatan khas perdagangan mulai dari mengklasifikasikan barang dagangan sampai menghitung pendapatan. Inilah yang akan mengantarkan anak kelak menjadi ekonom yang handal di dunia yang sebenarnya. Maka itulah hakikat tujuan pendidikan adanya, yakni menempatkan manusia (termasuk anak-anak) dalam dunianya.

Memperhatikan ilustrasi di atas, maka pencapaian angka partisipasi kasar PAUD tidak selalu bermakna meningkatnya kualitas anak usia dini. Jika kualitas kebanyakan lembaga PAUD termasuk rendah maka boleh jadi semakin tinggi APK PAUD, maka semakin banyak anak usia dini yang terbatasi peluangnya untuk mendapatkan pendidikan yang kaya dan mencerdaskan. Dengan demikian pola pembelajaran anak usia dini hendaknya tetap mendekatkan anak dengan lingkungan sosial dan alamnya serta mengangkat kearifan lokal sebagai sumber belajar. Dan satu hal yang pasti bahwa keahlian memfasilitasi anak usia dini untuk membangun pengetahuannya sendiri tanpa tercerabut dari akarnya hanya dapat dilakukan oleh lembaga PAUD bermutu dan guru professional.

Sebagaimana kita akui, sebagian besar guru PAUD belum memiliki kualifikasi akademik maupun kualifikasi kompetensi yang sesuai dengan harapan, namun demikian anak-anak terus tumbuh dan tidak dapat menunggu kita membereskan semua permasalahan ketersediaan guru yang kompeten dan berkualitas. Maka perlu cara pintas yang lebih penting yakni segera mewujudkan kelas yang berkualitas.

National Association for the Education of Young Children (NAEYC) menganjurkan kita untuk melihat 10 tanda-tanda yang menunjukkan anak-anak kita berada di kelas yang berkualitas, sebagai salah satu cermin dari kualitas pendidik dalam merencanakan dan menyelenggarakan pembelajaran dengan baik sebagaimana diterjemahkan dari http://www.expat.or.id  sebagai berikut:

  1. Anak-anak menghabiskan hampir semua waktunya untuk bermain dan bekerja dengan bahan materi atau bermain dengan anak-anak lainnya. Mereka tidak berkeliling-keliling tanpa makna dan mereka tidak mengharapkan untuk duduk dengan tenang dalam waktu yang cukup lama.

  2. Anak-anak memiliki akses untuk aktivitas yang bervariasi sepanjang hari. Mencari berbagai balok bangunan dan bahan bangunan lainnya, bermain peran, buku-buku bergambar, melukis dan bahan seni lainnya, dan tabel mainan seperti bermain mencocokkan, maze dan puzel. Semua anak tidak perlu melakukan aktivitas yang sama dalam waktu yang sama.

  3. Guru bekerja dengan anak-anak secara individual, kelompok kecil dan semua kelompok dalam waktu yang berbeda sepanjang hari. Mereka tidak menghabiskan waktunya dengan keseluruhan kelompok.

  4. Kelas berhiaskan hasil karya seni anak-anak, tulisan-tulisan mereka dengan ejaan yang ditemukan, dan cerita yang diceritakan oleh anak kepada guru.

  5. Anak-anak belajar angka dan huruf dalam konteks penemuan atau percobaan mereka setiap hari. Mereka belajar tentang alam seperti tumbuhan dan binatang dan kegiatan bermakna lainnya seperti memasak, atau menyiapkan makanan kecil sebagai dasar belajar beraktivitas.

  6. Anak-anak bekerja dengan projek dan memiliki waktu yang panjang (paling tidak satu jam) untuk bermain dan bereksplorasi.

  7. Anak-anak memiliki kesempatan untuk bermain di luar setiap hari.

  8. Guru membacakan buku-buku kepada anak secara individual atau dalam kelompok kecil, tidak hanya pada waktu bercerita secara klasikal

  9. Kurikulum diadaptasi sesuai kebutuhan anak-anak. Guru-guru memahami bahwa anak-anak memiliki latar belakang yang berbeda dan pengalaman yang berbeda, artinya bahwa mereka tidak mempelajari materi yang sama dalam waktu yang sama dan dengan cara yang sama.

  10. Anak-anak dan orang tuanya menanti-nanti saat sekolah. Orang tua merasa terjamin atau puas dengan mengirimkan anak-anaknya ke sekolah. Anak-anak senang hadir di sekolah, mereka tidak sering menangis atau komplain karena merasa sakit atau tidak enak berada di sekolah.


Ke-sepuluh ciri kelas berkualitas yang dianjurkan NAEYC di atas bisa jadi berat, namun jika tidak kita wujudkan hari ini, akankah kita terus menerus menempatkan anak-anak dalam persemaian yang gersang dan memberikan bekal yang sama sekali tidak mereka butuhkan di masa depan? Satu modal kita yang pasti hari ini adalah kemauan dan ketetapan hati untuk membantu anak-anak tumbuh dan berkembang dengan baik, mengajar dengan sepenuh hati dan meminta kekuatan dari-Nya untuk memampukan kita mengantar anak-anak menuju masa depan yang gemilang.

* Penulis adalah Ketua PD HIMPAUDI Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

No comments:

Post a Comment